Pemerintah Indonesia saat ini sedang meningkatkan pengawasan terhadap Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) di seluruh wilayah. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa semua LKS yang beroperasi memiliki izin dan akreditasi yang sah. Munculnya ribuan lembaga fiktif yang hanya sekadar papan nama menjadi masalah serius yang perlu diatasi.
Dalam konteks ini, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, bersama Menteri Sosial, telah melakukan rapat untuk membahas berbagai isu yang berkaitan dengan akreditasi LKS. Fakta bahwa lebih dari 2.000 LKS terbukti tidak terakreditasi menjadi pendorong penting untuk memperbaiki sistem ini.
Pentingnya Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial
Akreditasi LKS bukan sekadar formalitas, tetapi indikator penting untuk menilai kualitas pengasuhan dan layanan sosial yang diberikan. Lebih dari 85 persen anak yang berada di panti tidak berasal dari yatim piatu, melainkan masih memiliki orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa banyak anak yang seharusnya mendapat pengasuhan dari keluarga, namun justru terjebak dalam sistem yang tidak memadai. Ada kebutuhan mendesak untuk merombak peraturan yang mengatur akreditasi LKS agar tidak hanya bersifat administratif.
Pemerintah pun mengumumkan bahwa biaya untuk merawat anak di panti jauh lebih tinggi dibandingkan pengasuhan berbasis keluarga. Oleh karena itu, perubahan regulasi ini diharapkan berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan, bukan hanya legalitas. Dampaknya luar biasa, karena dengan akreditasi yang tepat, LKS yang berkualitas dapat dihadiahi insentif, sementara yang melanggar akan mendapatkan sanksi.
Strategi Transparansi dalam Penyaluran Bansos
Selain masalah akreditasi, pemerintah juga menyoroti pentingnya transparansi dalam penyaluran bantuan sosial (bansos). Penyaluran yang tidak transparan akan membuat bantuan tidak tepat sasaran. Kini, seluruh lembaga diharuskan untuk merujuk Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional, yang akan memudahkan dalam menentukan siapa yang berhak menerima bantuan. Dengan sistem yang lebih akuntabel, diharapkan setiap bantuan yang diberikan kepada masyarakat akan lebih tepat guna.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah data menjadi tantangan bagi pemerintah. Sering kali, data kemiskinan tersebar di berbagai kementerian dengan kriteria yang berbeda-beda. Akibatnya, tingkat ketidakakuratan dalam penyaluran bansos cukup tinggi. Menurut pengamatan, sekitar 45 persen dari bansos yang berasal dari kementerian sosial saat ini tidak tepat sasaran.
Demi memperbaiki sistem ini, Presiden telah mengeluarkan regulasi yang menetapkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga kredibel untuk verifikasi dan validasi data kemiskinan. Dengan adanya Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional, diharapkan semua kementerian dapat menggunakan data yang sama. Hal ini penting untuk memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Pemerintah juga merencanakan digitalisasi dalam penyaluran bantuan sosial agar lebih efisien. Uji coba sistem bantuan berbasis aplikasi dilakukan di Banyuwangi, dan diharapkan dapat mengurangi penyelewengan dan memastikan bahwa bantuan digunakan sesuai kebutuhan dasar masyarakat.
Strategi-strategi ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada tahun 2026. Tentu, pencapaian ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya regulasi yang kuat, pengawasan yang konsisten, serta partisipasi aktif dari masyarakat.
Dari seluruh rangkaian pembahasan ini, satu hal yang menjadi penekanan adalah keharusan untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dalam pengelolaan dana bansos. Di masa lalu, terdapat sejumlah kasus korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, setiap langkah yang diambil perlu menjadi pelajaran untuk tidak terulang di masa mendatang.