Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru-baru ini telah memicu kontroversi. Beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap implikasi dari UU ini terhadap tata kelola dan integritas BUMN di Indonesia.
Anggota DPD RI, Pdt Penrad Siagian, dalam pernyataannya menekankan bahwa DPR RI telah melanggar semangat reformasi dan komitmen pemberantasan korupsi. Dia menyatakan bahwa proses pengesahan UU tersebut cacat secara prosedural, karena minimnya partisipasi publik dan transparansi dalam setiap langkah legislasi. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masyarakat seharusnya memiliki hak untuk memberikan masukan dalam setiap tahap penyusunan peraturan.
Prosedural dan Cacat Formil dalam Pengesahan UU BUMN
Pengesahan sebuah undang-undang seharusnya melibatkan proses yang transparan dan partisipatif. Namun, kebangkitan UU BUMN telah menunjukkan sebaliknya. Kurangnya partisipasi publik dalam proses legislasi ini cenderung menciptakan undang-undang yang lemah dan tidak melindungi kepentingan masyarakat. Penrad menegaskan bahwa pengesahan UU yang tidak mematuhi ketentuan partisipasi masyarakat dapat dianggap inkonstitusional.
Dia menegaskan bahwa keberadaan lembaga legislatif harus mengedepankan keinginan rakyat, bukan hanya kepentingan politik jangka pendek. Hal ini penting untuk menciptakan hukum yang benar-benar mewakili aspirasi masyarakat dan membawa dampak positif dalam pengelolaan BUMN. Penrad menunjukkan bagaimana UU BUMN yang baru ini tidak hanya cacat secara prosedural, tetapi juga berpotensi mengurangi tingkat transparansi dan akuntabilitas, yang esensial dalam penegakan hukum.
Dampak Negatif Terhadap Pengawasan dan Pemberantasan Korupsi
Pengesahan UU ini tidak hanya membawa implikasi pada prosedur legislasi, tetapi juga pada pengawasan dan upaya pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN. Penrad menguraikan beberapa poin krusial yang menunjukkan potensi dampak negatif dari revisi tersebut. Salah satunya adalah pemangkasan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang dulunya bisa melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap BUMN. Kini, BPK dibatasi untuk melakukan pemeriksaan hanya atas permintaan anggota DPR.
Pengurangan kewenangan ini menciptakan ruang bagi politisasi, yang dapat mengganggu fungsi pengawasan yang seharusnya bersifat profesional. Dengan sistem yang baru, fungsi BPK sebagai pengawas keuangan menjadi berisiko terpengaruh oleh kepentingan politik, yang dapat mengarah pada penurunan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara. Lebih jauh lagi, beberapa aspek dalam revisi UU BUMN ini berpotensi melemahkan upaya penegakan hukum dan menutupi kasus-kasus korupsi yang sudah ada.
Penrad juga menyoroti bahwa UU yang baru secara langsung mempengaruhi kewenangan KPK. Dengan adanya perubahan yang membebaskan penyelenggara BUMN dari kategori penyelenggara negara, maka KPK kehilangan kewenangan untuk melakukan investigasi korupsi di BUMN. Fakta bahwa sekitar 212 kasus korupsi di BUMN dengan total kerugian negara mencapai triliunan rupiah selama beberapa tahun terakhir menjadi bukti nyata bahwa sektor ini memerlukan pengawasan yang ketat dan independen.
Dengan perubahan yang signifikan ini, penting untuk mengkaji kembali tujuan dari revisi UU BUMN. Jika perubahan tersebut justru menguntungkan pihak-pihak tertentu dan melemahkan integritas lembaga perwakilan, maka keberadaan undang-undang itu patut dipertanyakan. Di sinilah tantangan bagi rakyat dan pengawas hukum untuk terus mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola BUMN.
Penrad menutup pernyataannya dengan pertanyaan retoris yang mendalam. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari revisi UU ini? Dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, tampaknya revisi ini bukan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, penting agar publik lebih aktif dalam memantau dan mengawasi proses legislasi serta penyusunan peraturan yang akan ada, demi masa depan yang lebih baik.